Dear Future Husband (1)

Hai sayang! Apa kabar? KANGEN GA? Aku sih b aja *dibuang. Ga deng. Aku kan selalu kangen kamu! (tambahin wang jajan ya. Okesip) 

Sebelumnya, terima kasih ya sudah memilihku, jadi aku juga bisa memilihmu. Jadi, kalau nanti anak-anak tanya, "Bu, kenapa mau sama ayah?" yaaa aku bakal lancar jawab, "Karena ayah milih ambu. Hehe..". Pada akhirnya, aku banyak-banyak bersyukur pada Tuhan karena diberi kesempatan untuk bertemu denganmu.

Kita sudah bahas panjang lebar tentang bagaimana pengaturan finansial kelak. Pusing ngga? Semoga ngga ya. Aku cuma ingin menerapkan nasihat teman-teman terdekatku yang sudah lebih dulu menikah. Pondasi rumah tangga itu kepercayaan dan keterbukaan, katanya. Jadi, karena hidup ini bukan lagi tentang aku atau kamu, semoga kesepakatan kita kemarin bisa sama-sama melegakan ya. 

Kamu tau persis aku seseorang yang sangat suka belajar. I'm a fast learner ceunah. Jika di kemudian hari aku ada kekeliruan, tegur aku ya. Kalau aku nanti cemberut setelah ditegur, gapapa, itu natural dan alamiah sekali, bung! Malah kalo aku langsung sumringah, kamu harus curiga! Hahaha. Kalau aku cemberut dan minta waktu sendiri, ketahuilah aku sedang mencoba berpikir jernih. Sediakan saja kamar (jangan ada handuk basah ya di kasur) buat aku menepi. Kedengarannya aku menangis? Gapapa. Itu mekanisme belajarku. Realize, relief, release. Kamu harus gimana? Keynote: aku suka dipeluk tapi ngga sambil dinasihatin. 

Berbicara soal nasihat, aku paham betul kamu terlahir untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan adanya aku, kamu punya bibit pasukan yang ego dan gengsinya sedikit tinggi. Aku bisa melawan dan denial tanpa henti, tapi jika dijinakkan dengan cara yang tepat, aku itu bucin setengah mati (jangan senyum-senyum kamu 😒). Love language aku yang pertama: words of affirmation. Sebagaimana kata-kata bisa membahagiakan aku dengan amat sangat, ia juga bisa berubah jadi benda yang paling menyakitkan. Aku sudah cerita kan? Bagaimana aku dealing dengan trauma-trauma masa kecil yang ngga menyenangkan itu? Jika kamu punya issue yang sama, kita berjuang ya untuk tidak mewariskannya ke anak-anak. 

Mari kita bersepakat untuk diam sejenak jika emosi mulai menguasai. Aku yakin, kita sama-sama paham kalau emosi itu seperti api yang membakar habis kertas. Begitu reda, nothing useful left. Kita ambil me-time sejenak (kalau udah ada anak, aku izin titip mereka ke kakek-neneknya dulu ya. hehe), lalu kembali untuk membicarakan duduk perkara dengan kepala dingin. Meski nanti status kita sudah menjadi orang tua, ingatlah bahwa aku istrimu, kamu suamiku. Dua orang yang tadinya asing, lalu Tuhan izinkan garisnya bersisian untuk saling memahami dan mencintai tanpa tapi. Wajar 'kan kalau masih penyesuaian sana-sini, seperti yang pernah aku bilang, proses mengenal dan memahami itu berlangsung seumur hidup.

Sebagaimana proses mengenal itu berlangsung lama dan panjang, aku juga menyiapkan beberapa surat untukmu. Ini baru yang pertama (sekarang kamu paham kan love language pertama ku kenapa words of affirmation? 😌). Semoga kamu ngga bosen bacanya. 

The one will love you forever undoubtedly,

Istrimu

Comments

Popular posts from this blog

Mana yang Duluan? (The Ways to Manage Your Priority)

Kita Memang Harus Berbeda

Cerita dari Cipelang ♥