Kontroversi dari Pernyataan

Assalamu’alaykum semuanyaaa ^^
Sebelum mulai postingan, izinkan saya mengucapkan..
Taqabballahu minna waminkum, shiyamana wa shiyamakum. Taqabballahu yaa kariim..
Mohon maaf lahir batin ya semuanya :3 *kasih senyum paling manis*

Malam di Ibukota. Sedang asik insta-walking (gak cuma blogwalking :p) tiba-tiba dapet chat dari ibu dosen pembimbing tentang beasiswa. Nah, perbincangan pun muncul (curhat sih sebenernya. Bhay!) dan satu kesimpulannya, coba dulu, Ridho orang tua in syaa Allah akan turun kalau liat anaknya sungguh-sungguh *terharu* in syaa Allah cintaku padamu tak sebatas skripsi bu~ uhibbuki fillah <3

Jadi apa yang mau diceritain?

Iya, selepas lulus sidang kemarin banyak banget pertanyaan muncul pas lebaran kemarin. Benang merahnya adalah, mau apa setelah wisuda? Seperti biasa, tak sedap rasanya pertanyaan tanpa kontroversi dari jawaban yang dilontarkan *tsah.
Deng~
Siap gak siap, harus menghadapi eventually.

Dan akhirnya, saya membulatkan tekad untuk lanjut S2 (dengan syarat harus beasiswa) sambil nyambi kerja ngurus catering sampai gong S2 dimulai. In syaa Allah akan nerusin di bidang Psikologi Pendidikan/Sociology of Education (nanti ada postingan kenapa saya milih bidang ini. Doain aja gak mager ngetik. Hehe)

Dulu R. A. Kartini sangat memperjuangkan KESAMAAN HAK WANITA DALAM BIDANG PENDIDIKAN. (kenapa di-caps lock? Supaya yang masih teriak-teriak emansipasi bisa baca). Kenapa pendidikan? Coba kita korelasikan ke salah satu quotes “Kalau kamu mempersiapkan satu wanita terdidik akhlaq dan ilmunya, maka kamu mempersiapkan generasi baik darinya.” Lalu? Kalau saya ingin punya pendidikan yang cukup, maka itu adalah investasi untuk anak-anak saya kelak. Investasi ini memang dimulai jauh sebelum saya jadi seorang ibu. Asuransi apa pun juga gak mendadak bisa diklaim kan?

Yah, gak sedikit kok nada-nada sumbang mulai beresonansi. “Ngapain sih sekolah tinggi-tinggi, kalau ujungnya ngurus anak juga?” dan lain sebagainya. Well, for everyone asked me, I’ll answer….

(1) “nanti kalau udah Master, sayang dong ilmunya Cuma buat ngurus anak aja. Ibu rumah tangga kan gak ngapa-ngapain?”
Bhay banget lah sama yang nanya gini. *tarik napas dalem, tahan emosi*

Langsung ke contoh nyata ya. Mama saya lulusan SPG/Sekolah Pendidikan Guru (setara SMA, tapi khusus pendidikan). Jarak umur mama dengan saya hanya 20 tahun 10 bulan (lebih dikit). Dengan kapabilitas ilmu beliau, Alhamdulillah saya dan dua adik saya bisa jadi pribadi yang utuh. Kami bahagia, kami merasakan peran dan sosok mama yang hadir dalam setiap keputusan yang dijalani. Kami merasa mama adalah satu-satunya orang yang bisa kami percaya seutuhnya di dunia ini (Dad, you’re at the second line, sorry :p). Meskipun tidak bisa mengajarkan ilmu-ilmu eksakta yang sedang kami tempuh, mama menunjukkan pada kami bahwa dunia ini tak hanya ilmu semata, tapi juga pengetahuan.

“Teh, mama gak bisa ngajarin kamu tentang pelajaran-pelajaran SMA. Makanya kamu mama masukin bimbel, yang penting kamunya bisa ngerti. Jadi bisa ngajarin adik-adikmu nanti.”

Iya, mama bilang gitu. Tapi mungkin mama lupa sebelum masuk SMA dan kuliah, di usia 2 tahun anak sulungnya ini sudah mengenal huruf dan hijaiyah. Di usia 3 tahun, anak perempuannya ini mulai bisa membaca, mencacah, mencongak, masuk iqra, dan hapal beberapa surat Juz Amma. Dan ini semua karena mama yang mengajarkan…

Tumbuh hanya bersama mama selama kurang lebih 5 tahun (ayah kerja di Saudi Arabia pada saat itu), membuat saya sangat dekat dengan mama. Dan di usia ke (hampir) 22 tahun, saya baru memahami arti seorang mama untuk keluarga J

Well, mama memang hanya lulusan SPG, tapi sedemikian hebatnya mendidik kami. In syaa Allah, dengan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih baik, cucu-cucu mama akan hadir sebagai pribadi yang jauh lebih baik kelak. aamiin..

(2) "kalau udah Master, kan sayang tuh kalau gak kerja. Pasti nanti kamu keasyikan kerja. Ngurus anak jadi seadanya deh.”
Weilah -_- ini nih.. suudzon deh.

Intinya, saya cukup kenal baik dengan dua working mom yang anak-anaknya kemudian tumbuh jadi pribadi yang hebat J. Dosen pembimbing saya. (gak ada unsur nepotisme kok -.-v) dan saya pun bisa belajar dari pribadi beliau-beliau ini.

Semuanya tentang pilihan, iya pilihan.  Pilihan tentang bagaimana memposisikan diri dengan cerdas. As a lecturer/an employee, as a wife, and as a mother.

Hmm, next mau bikin postingan kenapa ibu diibaratkan madrasah/sekolah untuk anak dengan ayah sebagai kepala sekolah (ingetin yah! Doain juga biar gak mager lagi :p)

“Mimpi kamu akan selalu dapet komentar miring selama itu cuma jadi mimpi. Tapi kalau kamu bisa wujudkan itu semua, komentar akan berubah jadi tepuk tangan kagum kemudian. Jangan balas ocehan dengan kicauan, ribut nanti. Tunjukkan saja dengan prestasi. Selama niatmu untuk kebaikan dan karena Allah semata, percayalah kebaikan akan selalu menemukan kemudahan jalan untuk diwujudkan. Jaga niat dan jaga sikap!”

Yes ma’am. I’ll prove it, in syaa Allah J





Comments

  1. Jadiii ngefans banget sama Tresnaaaaaaaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah.. hadza min fadhli rabbi.. :)
      da aku mah juga ngefans gi sama kamu, tulisannya udah beredar di mana-mana euy. >.<

      Delete
  2. jangan ketinggian nanti calon suami nya malu dan mundur deh, eh

    ReplyDelete
    Replies
    1. ketinggian? da aku 155cm aja gak sampe tingginya :|

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mana yang Duluan? (The Ways to Manage Your Priority)

Cerita dari Cipelang ♥

Kita Memang Harus Berbeda